KAKEK PEMBAWA LENTERA
OMAH WINGIT DAN WARISAN ILMU HITAM
“Semenjak kematian kakek rusdi, rumah itu terbengkalai mas. Sanak kerabatnya tak
ada yang mau mengurus, entah alasannya karena apa. tapi denger-denger sih si
pemilik rumah itu yakni kakek rusdi sendiri, beliau tewas dengan cara yang
aneh, “ Seorang pemuda berumur sekitar 22
tahun, berucap panjang lebar kepadaku sembari menjelaskan sejarah singkat rumah
tua yang berjarak beberapa meter dari kosan yang kusewa dua hari sebelumnya.
Meskipun rumah kosong itu sebagiannya tertutupi oleh ilalang belukar dan
pohon-pohon yang cukup rimbun, namun keberadaan rumah itu masih bisa terlihat
jelas.
“Aneh bagaimana mas? “ tanyaku lagi dengan penasaran.
Pemuda
di depanku ini tak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak dengan sudut mata yang
mengarah ke bawah. Mas andi, nama si pemuda yang kutemui ini, terlihat
menyembunyikan kegugupannya.
“
Pokoknya, jika masnya denger suara atau liat sesuatu dari arah rumah itu, ga
usah dihirauin mas. Anggap aja ga terjadi apa-apa, mari saya duluan, “ kata mas
andi sebelum dengan terburu-buru, pemuda itu melewatiku begitu saja lalu masuk
ke kosannya yang memang berlokasi sama denganku.
Aku
pun hanya terheran-heran melihat sikap mas andi yang terlihat ketakutan itu.
Entah karena apa. Apa mungkin setelah menerangkan kisah rumah terbengkalai itu,
yang membuat mas andi takut? Entahlah.
“
Padahal ga ada yang aneh dari rumah itu, hanya kotor dan terbengkalai aja, tapi
kenapa para warga sampai menyebut rumah itu sebagai omah wingit ya?
Ada-ada saja, “ ucapku seraya menggeleng serta tertawa kecil. Mataku masih memandang
ke arah rumah tua dengan jendela dan pintu yang setengah terbuka. Entah kenapa,
seakan ada sesuatu yang menarik perhatianku akan rumah kosong terbengkalai itu.
Rumah
yang menyimpan sebuah misteri dan kejanggalan. Namun aku tak ingin berpikiran
yang tidak-tidak, apalagi sampai kepada hal-hal yang berbau mistis. Lebih baik
aku lekas ke kosan saja. Hawa malam ini sangat dingin sekali ditambah oleh senyapnya
lingkungan yang sedikit membuatku tidak nyaman.
Malam
semakin larut. Purnama perlahan beranjak dari singgasana langit untuk menyembunyikan
dirinya diantara kelambu awan.
Pukul
12 tengah malam...
Jarum
jam terus berdetik, suara binatang malam yang sempat menyemarakkan perputaran
sang waktu tadi kini digantikan oleh sunyi senyap yang mencekam.
Bang bang wus rahina, bang bang wus rahina srengengene
muncul, muncul, muncul, sunar sumamburat...
Aku
membuka mata dengan tersentak. Netra pandangku menyambut gelap dari kamar
kosanku yang sengaja aku matikan. Aku melihat jam digital yang tergeletak di
sisiku.
“ pukul
setengah satu malam ya, “
Aneh,
tidak biasanya Aku terbangun di tengah malam seperti ini. Ditambah lagi aku
sayup-sayup mendengar suara seseorang yang seperti sedang berkidung dari arah
luar.
bang
bang wus rahina srengengene muncul, muncul...
“
Suara Siapa itu? Siapa yang bernyanyi tengah malam begini? “ mataku yang semula
malas dan menahan kantuk, mendadak terbuka lebar dan dengan penuh kewaspadaan,
aku bangkit dari kasurku.
Suara
nyanyian atau mungkin senandung sumbang seperti suara seorang pria paruh baya.
Berat dan serak.
“ Apa
kuperiksa aja ya? Tapi kalo terjadi hal yang tidak diinginkan bagaimana, “ di
tengah kebingungan apakah harus keluar untuk memeriksa sumber suara itu, terlintas
dalam benakku kala berbincang berdua bersama mas andi tadi.
“ Pokoknya,
jika masnya denger suara atau liat sesuatu dari arah rumah itu, ga usah
dihirauin mas. Anggap aja ga terjadi apa-apa...,
Kilasan
balik percakapan itu melintas di ingatanku. Aku semakin ragu dan takut
mendengar kidung itu yang semakin lama kian jelas membelah sunyi di gulita
malam.
Aku
ingin kembali berbaring di kasur, tapi entah mengapa rasanya kidung atau
tembang berbahasa Jawa yang kudengar samar-samar itu, seolah membuaiku dalam lantunan
nada yang syahdu namun membuat bulu kuduk berdiri.
Didera
oleh penasaran yang menyiksa, kaki jenjangku melangkah untuk memeriksa keluar
kos, siapa yang tengah malam bernyanyi tidak jelas dan mengganggu durasi
tidurku?
Pintu
kos kubuka, hawa dingin menyerbu masuk, membuatku mengigil kedinginan.
Kegelapan
pekat dari malam yang sepi menyambutku dalam rangkulan kelamnya. Aku melangkah
keluar kos, dan kidung itu kian jelas sekali seolah si pemilik kidung berada
tepat di depanku.
Dengan
menahan hawa dingin, aku berjalan menuju tepi jalan sambil mengeratkan jaketku.
Bang
bang wus rahina...
Kidung
berbahasa jawa itu masih sayup-sayup menyusup ke gendang telingaku. Tapi
anehnya, setelah aku berada di tepi jalan, justru aku tidak mendapati seorang
pun terlihat. Hanya ada keheningan dan juga samar-samar setitik cahaya berwarna
kuning yang menjadi pelita di tengah gelap kelam.
Aku
terdiam sejenak melihat cahaya berwarna oren kekuningan yang memancar dari...
“ Astaga...,
“ aku terkejut begitu menyadari jika cahaya yang tampaknya adalah lentera itu, ternyata berasal dari pelataran
rumah terbengkalai yang pernah diceritakan oleh mas andi.
Seperti
yang telah aku ceritakan di awal kisah, jarak kosanku dengan rumah itu tidak
begitu jauh, sehingga aku bisa dengan jelas melihat nyala dari lentera itu. Lentera
yang dibawa oleh sosok seperti kakek-kakek yang membuatku terperanjat kaget.
“ Astaga,
siapa itu yang membawa lentera di rumah kosong? “ ucapku tatkala netra mataku
menangkap bayangan sosok itu yang berdiri sembari menatap ke arah tempatku.
Desir
angin malam menyapu wajahku dengan pelan. Angin yang membawa semerbak bau wangi
yang lembut namun terasa aneh. Tapi seiring berjalannya waktu, bau wangi aneh
itu berubah menjadi aroma busuk yang sangat menyengat.
Aroma
bangkai yang entah dari mana datangnya, menggantikan aroma wangi yang tadi
sempat kucium.
Aku
menutup hidung berusaha menahan gejolak dalam perutku yang hendak keluar.
“
Bau apa ini, busuk sekali! “ kataku dengan suara tertahan. Aku merasa semua ini
tidak beres dan serba ganjil.
Saat
aku memutuskan untuk kembali ke kosanku, suasana mendadak semakin mencekam. Bau
busuk seperti bangkai itu kian menusuk hidungku. Dari kejauhan, terdengar
lolongan anjing yang menggonggong keras seakan memberi tahukan akan datangnya
sesuatu yang suram. dari arah belakangku aku mendengar sebuah bisikan serak dan
berat.
“
eling-eling nduk, yang kamu sangka baik, bisa jadi dia yang akan menusukmu dari
belakang, “ Bisikan samar dan pelan dari arah belakang yang membuatku
spontan membalikkan tubuh.
Tepat
ketika itu, aku rasanya bagai dalam mimpi yang buruk. Sangat buruk, hingga aku
tidak dapat membedakan realita dengan apa yang terpampang di depanku sekarang
ini.
Kakek
tua pembawa lentera yang semula kulihat di depan rumah kosong itu, kini berdiri
tepat di belakangku. Dan wujudnya semakin jelas kulihat.
Kakek
tua itu berwajah layaknya tengkorak berwarna hitam dengan beberapa helai rambut
putih yang menghiasi kepalanya yang hancur. Bola matanya melotot seolah hendak
keluar dari tempatnya. Di tangannya yang kering dan keriput, satu buah lentera
tergantung. Lentera yang membawa cahaya yang redup yang kian memperjelas sosok
kakek setan itu.
Aku
membeku tanpa bisa melakukan apa-apa. Mulutku terbuka dan mataku melotot
sempurna. Kakek setan itu menyeringai disertai tawa kekeh dan senandung Jawa
yang kembali kudengar. Bersamaan dengan itu setipis kabut putih muncul lalu
mengurungku bersama kakek setan itu.
“
Nduk, ikut denganku, aku akan memberimu berbagai kenikmatan dunia yang selalu
diinginkan oleh para manusia, “
bisik kakek bermuka tengkorak itu menawarkan sesuatu padaku sambil terus
menyeringai, memamerkan gigi tajam.
Yang
membuatku kian ketakutan adalah, di belakang kakek setan itu, bermunculan
banyak entitas-entitas tak kasat mata, seperti sosok berbungkus kain kafan
kumal dengan wajah penuh belatung, sosok bertubuh besar dengan mata merah
menyala serta tubuhnya dipenuhi oleh bulu hutan lebat, dan juga sosok perempuan
dengan rambut panjang menjuntai hingga tanah. Wajahnya buruk rupa, dengan bola
mata berlubang menampilkan kekelaman yang dalam.
“
S-s-setannn!!! “ aku melolong keras melihat sosok menyeramkan yang semuanya
melotot ke arahku.
Aku
telah berada di puncak ketakutanku, pandanganku mengabur tanpa bisa lagi
berteriak maupun menjerit meminta tolong.
Kakek
setan beserta sosok-sosok gaib itu tertawa mengikik melihat diriku yang jatuh
ambruk dengan tatapan dipenuhi kepasrahan. Sebelum diriku pingsan sepenuhnya,
kidung Jawa bernada dan lirik yang sama kembali kudengar. Aku juga sekilas
melihat sosok-sosok gaib itu terlihat menari seakan mengiringi kidung
mengerikan dari sosok kakek setan.
Secara
perlahan, kegelapan mencabut kesadaranku. Tubuhku terhempas ke tanah. Dan aku
pun tak sadarkan diri. Gelap kelam memeluk tubuhku
Kala
mentari merekah dari ufuk Timur, aku ditemukan oleh warga yang kebetulan tengah
lewat di depan kawasan kos. Setelah disadarkan oleh para warga, aku ya g masih
ingat jelas apa yang terjadi dan menimpaku di malam menyeramkan itu, kemudian
bercerita mengenai sosok kakek hantu pembawa lentera beserta sosok-sosok gaib
lainnya.
Mendengar
cerita panjang lebarku, warga yang berkumpul disana seolah biasa saja, tak ada
yang kaget ataupun terkejut.
Salah
seorang warga yang masih muda sebut saja mas anton, dia perlahan menjelaskan
bahwa kejadian aneh dan menyeramkan memang selalu terjadi di rumah terbengkalai
itu. Para warga disini sudah terbiasa dengan semua kejanggalan dan
ketidakberesan dari rumah kosong peninggalan kakek rusdi. Bahkan pernah ada
satu warga yang pada saat tengah malam melihat sosok perempuan tanpa kepala
yang berdiri persis di pelataran rumah itu. Rumah itu terkenal sebagai rumah
angker yang berdiri di atas tanah terkutuk. Tak ada warga yang berani mendekat
apalagi berjalan keluar saat malam hari di depan rumah itu. Semua warga sudah
tahu akan kisah di baliknya.
Konon
katanya, kakek rusdi adalah seorang dukun yang menjalani ritual sesat dan
mendalami ilmu hitam. Telah banyak orang dengan kepentingan dan tujuannya
masing-masing datang ke kakek rusdi untuk meminta bantuan gaib serta melakukan praktik
sesat seperti santet, teluh, dan praktik gelap lainnya.
Ketika
kakek rusdi meregang nyawa, sanak kerabatnya tak ada yang mau melanjutkan
praktik sesat si kakek dan memilih pergi entah kemana.
Sejak
kematian kakek rusdi, teror mengerikan selalu terjadi. Berbagai macam gangguan
gaib, penampakan makhluk tak kasat mata, hingga suara tangisan dan teriakan
acap terdengar tatkala gelap senja datang. Rumah itu adalah rumah dimana
sosok-sosok setan dari berbagai jenis tinggal. Sampai-sampai para warga sendiri
menjuluki rumah itu sebagai Omah wingit, rumah yang penuh dengan aura
mistis.
Menurut
para warga, aku cukup beruntung hanya ditampakan sosok kakek pembawa lentera
yang konon merupakan jelmaan dari arwah kakek rusdi, tidak sampai diperlihatkan
sosok siluman ular yang katanya menurut orang yang memiliki kemampuan gaib,
adalah penguasa tertinggi di rumah angker itu. Karena barangsiapa pernah
melihat perwujudan siluman ular hitam, maka orang itu dipastikan akan langsung
tewas.
Mendengar kebenaran yang terjadi, dengan hati yang mantap, aku memilih pindah kosan daripada aku mendapat lagi teror serupa. Pergi dan menjauh dari area kosan yang dekat dengan omah wingit.
Komentar
Posting Komentar