JIWA DI LEMBAH NERAKA : KISAH SEORANG PENGIDAP KESEHATAN MENTAL
Bagaimana rasanya ketika kau berjalan pelan di lembah antah berantah? Sendirian dikepung oleh dinginnya angin malam juga hening dan gelap yang membutakan pandangan. Tujuan langkahmu tak jelas, arah matamu penuh dengan raut kebingungan dan rasa bimbang, yang tanpa sadar membuatmu kian jauh terperosok ke dalam lembah yang serba gelap ini. Sebuah lembah bernama lembah neraka jiwa.
Kakimu melangkah menapaki tanah lembah yang gelap, segelap
kenangan masa lalumu dulu yang penuh dengan derita dan trauma. Semua memori itu masih melekat, sulit untuk
dilepaskan, sulit untuk dihilangkan. Kau menahan Sakit dan luka yang tak
terungkap ke permukaan, mengendap di lembah dasar yang penuh dengan kehampaan.
Tanpa seorang pun yang mendampingi, tanpa ada yang benar-benar
bisa mengerti apa yang bergejolak dalam jiwaku, Aku sekali lagi berjalan
melintasi lembah penuh kekecewaan ini dengan kaki yang gontai.
Ibarat sebuah pantulan cermin, Aku melihat diriku sendiri
terjebak di lembah kekosongan jiwa. Dibutakan oleh kelamnya pikiran dan ingatan
yang melekat diantara dinding lembah neraka. Aku seolah terasingkan oleh pikiranku
sendiri, oleh luka trauma yang sulit disembuhkan ini. Membekas lama seolah luka
tersebut mengerak menjadi lapisan hitam di alam bawah sadarku.
Aku tertunduk lesu di tengah lembah neraka, sementara dinding-dinding
lembah itu kian mendekat dan menghimpit tiap inci perasaanku. Mengekangku ke dalam
lembah yang dingin dan bisu, tanpa Aku bisa melakukan apa-apa.
Aku adalah orang yang hidup dengan perasaan depresi serta
kesehatan mental yang sangat buruk. Kemana pun diri ini aku bawa, aku selalu
diikuti oleh perasaan gelisah, takut, dan cemas yang luar biasa. Melihat
sesuatu yang sepertinya buruk terjadi pada kondisi mentalku, Aku berinisiatif
untuk mencoba berkonsultasi dengan psikolog mengenai keadaan kejiwaanku ini,
dan hasilnya mengejutkan : para psikolog mendiagnosa bahwa aku terkena anxiety
dan depresi. Suatu kenyataan yang membuatku seketika tersenyum kecut. Ternyata
benar, semua ketidakberesan yang menimpa
perilaku dan memengaruhi aktifitasku sehari-hari ini adalah dampak dari
mentalku yang sakit.
Pulang dari psikolog, pikiranku dan isi kepalaku penuh dengan
beban yang menggantung seperti ada sebuah bola besi dengan rantai yang terikat
kuat di kepalaku. Beban berat yang harus kupikul sendiri, tanpa ada yang tahu
bahwa aku membawa masalah yang besar di hidupku. Bahkan orang tuaku sendiri tak
mengetahui bahwa anak mereka ternyata mempunyai penyakit mental.
Aku tak mampu mengungkapkan masalah tentang mentalku yang
sakit ini kepada siapapun, bahkan orang tuaku sendiri. Ketakutan dan rasa cemas
mendapat tanggapan negatif yang tak sesuai harapan adalah dinding penghalang bagiku
untuk menyampaikan kondisi kejiwaanku kepada keluarga terdekat.
Aku takut mendapat stigma negatif dari mereka. Aku khawatir
mereka akan mencapku sebagai anak lemah dan mudah patah, apalagi aku seorang
laki-laki yang harusnya mempunyai ketahanan mental dan fisik yang kuat.
Saban hari kulewatkan dengan sebuah perenungan panjang. Pikiranku
bekerja keras memikirkan mengapa kondisiku bisa sampai seperti ini. Apa yang
sebenarnya terjadi padaku, apa kilas masa lalu yang menyebabkan aku berakhir
dengan rasa trauma dan ingatan buruk yang selalu muncul dalam setiap mimpiku.
Lama merenung, sampai akhirnya ada sebuah kilas kenangan dalam
dimensi pikiranku yang mengarah kepada suatu insiden di masa lalu. Tragedi yang
kemungkinan menjadi biang keladi dari semua permasalahan selama ini.
Semua itu berawal dari insiden beberapa tahun silam, tatkala
diriku masih berstatus seorang pelajar.
Di sekolah, aku adalah siswa yang cenderung pendiam dan tak
banyak bergaul dengan teman-teman sebaya. Aku lebih memilih untuk kemana-mana
sendiri, baik ke kantin, ke mushola, maupun ke ruang kelas. Bukannya aku tidak
ingin bergaul, namun aku hanya ingin membatasi pergaulanku dengan semua orang.
Aku mempunyai sebuah prinsip bahwa tidak semua orang bisa dijadikan seorang
teman. Aku hanya ingin mencari teman sejati yang bisa menjadi support system
seperti mendukung minatku, mengapresiasi prestasiku, maupun menjadi tempatku
belajar dan bertukar pikiran.
Pendek kata, aku mencari teman yang menerimaku apa adanya,
tulus berteman denganku dan tidak memanfaatkan diriku hanya untuk
kepentingannya sendiri.
Mungkin karena sifatku yang demikian kakunya, banyak teman
kelasku yang tidak menyukai diriku secara personal.
Setiap ada kesempatan, mereka pasti meluangkan waktu untuk
menebar api kebencian terhadap diriku yang hanya diam dan tak melakukan
kesalahan apa-apa kepada mereka. Mereka menyorak-nyorakiku, mengataiku sebagai anak
haram dengan sifat yang aneh. Bahkan beberapa kali juga mereka mengintimidasiku
lewat kalimat kasar dan mengancamku dengan kekerasan. Apabila aku berani
melapor dan mengadu kepada guru maupun orang tua, mereka tak akan segan berbuat
sesuatu yang lebih jahat daripada apa yang semula mereka lakukan kepadaku.
Sebagai seorang anak dengan sifat pendiam dan mudah gelisah,
tentunya aku takut dengan ancaman itu. Aku berusaha sabar dan menutup telinga
ketika lontaran panah tajam kalimat mereka terus menghujamiku terus-menerus. Aku
menahan diriku agar jangan sampai terprovokasi dengan kalimat kasar yang mereka
ucapkan.
Aku berusaha memendam semua rasa sakit itu dan menguburkannya
ke dalam lubang di hati yang dalam
Hasilnya adalah, semua cacian, ejekan, penghinaan yang telah
mereka perbuat dengan kejam kepadaku, tersimpan di memori ingatanku dan
terbayang hingga aku tumbuh dewasa.
Bertahun-tahun aku hidup dengan bayang-bayang kekelaman dan
trauma mendalam. Hidupku diselimuti oleh paranoid tak wajar. Ketakutan di
tengah kesepian maupun keramaian yang tak masuk akal.
Aku selalu bermimpi buruk. Mimpi yang di dalamnya aku merasa
terjebak di dalam sebuah lembah tak bertuan. Tempat asing yang serba suram dan
membingungkan. Disana aku tak bisa kemana-mana. Diriku seolah dirantai dalam
neraka yang gelap dan dipenuhi keputusasaan.
Aku juga selalu mendengar gelak tawa asing, lontaran kata
makian serta cemoohan, ujaran ejekan dan kebencian, yang terdengar membelah
jiwaku di lembah itu.
Aku selalu terbangun dengan napas yang menderu. Keringat yang membasahi
wajah, degup irama jantung yang berdetak kencang. Aku membelalakkan kedua bola
mataku dengan sinar yang meredup dan pikiran yang terasa tenggelam dalam lautan
yang gelap.
Dalam setiap langkah hidupku, bayang-bayang luka itu selalu
mengikuti, menghantuiku, meneror, bahkan mencabuli jiwa dan akalku.
Mungkinkah aku ini sudah gila? Mungkinkah aku ini sudah
sinting? Hidupku didera oleh depresi dan trauma yang tak mampu aku keluarkan.
Seolah trauma itu bersembunyi di balik celah berbatu lembah neraka jiwaku.
Sulit untuk keluar, mustahil tuk diketemukan.
Peta hidupku seolah buntu dan robek. Aku kehilangan arah dalam
hidup. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah terus menyibak ilalang dari
jalan di lembah nerakaku. Berharap, Aku bisa menemukan jalan utama yang kelak
bisa membawa depresiku ini keluar dari lembah neraka jiwa. Mengantarkanku
menuju gerbang cahaya surga.
Aku meninggalkan secara kertas di lembah neraka jiwa ini,
sebuah pucuk surat yang aku buat untuk disampaikan kepada mereka yang bernasib
sama denganku. Terkurung dan terjebak dibalik lembah jahanam ini. Lembah yang
merupakan perwujudan dari rasa depresi, kehilangan arah, trauma yang mendalam,
kesepian tanpa seorang pun teman yang menemani.
Aku meninggalkan pucuk surat ini di dekat sebuah ranting pohon
bernama hati. Surat dengan tulisan pertama yang berbunyi :
Engkau berharga wahai jiwa yang terluka.
x
Komentar
Posting Komentar