DENDAM MASA LALU

 


PUSARAN DOSA

Dengan langkah yang sempoyongan, aku berjalan keluar dari hiruk-piruknya suara musik yang ada di salah satu klub malam kota ini.

“ dasar perempuan brengsek! Kurang apa lagi aku ini, “  maki ku di tengah kepulan asap rokok bercampur aroma miras yang menyengat. Pandanganku terasa buram dalam riuhnya tawa bahak serta kerlap–kerlip lampu disko yang menyala terang.

Mataku melirik sekilas ke beberapa pelacur malam yang terlihat hilir–mudik melayani keinginan dari para pria hidung belang.

Aku masih berusaha menjangkau pintu keluar tempat ini. Sesak rasanya dadaku menghirup serbuk setan yang bertebaran di udara yang pengap. ditambah kepalaku sendiri yang terasa pening hasil dari sebuah Wisky yang kuminum tadi.

“ lihat saja nanti bangsat! Kau akan mati di tanganku, “ umpatku sekali lagi. Saat pengaruh miras semakin kuat mengontrol pikiranku, bayang–bayang wajah seorang perempuan terlihat samar–samar melintas di benakku.

“Akhhhh...sialan, setan kepalaku! “ jeritku dengan keras. Tanganku sontak meremas kepalaku yang terasa seperti hendak pecah. Lagi–lagi sakit kepalaku kembali kambuh. Aku hanya bisa meringis menahan luapan rasa sakit.

“ om mau aku temenin gak? “ seru salah satu pelacur yang terlihat masih muda, berjalan mendekatiku. Paha berisinya sengaja dibuat berlenggak-lenggok dalam ketatnya balutan rok mini. Pelacur ini tengah mencoba menggodaku yang masih nanar menatapnya.

“ om ganteng, kayanya om butuh teman buat main deh? gimana kalo kita cari kamar deket sini, “ pancingnya dengan kerlipan mata penuh rayuan.

aku tak menghiraukan perempuan ini. Kakiku yang tadi sempat terhenti kembali melangkah hati–hati.

Dalam gemerlapnya musik pesta, aku melihat gadis pelacur itu direngkuh oleh salah satu pengunjung bar tempatku berada. kemudian hilang diantara lautan sesak manusia yang tengah berjoget ria.

Kuteruskan langkahku menuju pintu keluar dari tempat jahanam ini. Beberapa security bertampang preman  turut memandangiku seakan aku ini seorang badut yang tengah ditertawakan.

Saat berada dalam perjalanan, rasa sakit akibat efek dari alkohol serta penyakit yang sudah kuderita sejak lama kembali kambuh. Memaksaku untuk kesekian kalinya meringis kesakitan.

Aku berjalan sembari terhuyung–huyung bak pesawat jatuh. Tak kuidahkan Beberapa kali  cacian dan makian terdengar dari orang–orang yang tak sengaja kutubruk. Membuatku semakin berjalan limbung tak sempat mengelak.

Bahkan tubuhku sendiri sempat tersungkur di halaman depan tempat maksiat ini. Tempat yang menjadi ajang pelepasan hasrat dan nafsu jahat para manusia berwatak setan. Sebuah potret suram dari kemewahan duniawi yang semu. dan di tempat ini juga aku selalu menghabiskan sepanjang malamku dalam untaian rantai penuh dosa.

Mabuk–mabukan, berjudi, serta bermain wanita, itu semua seolah menjadi hal yang biasa bagiku.

Setelah Bangun dari jatuh, aku bangkit berdiri sambil membersihkan debu kotor dari kemeja putihku yang sudah awut–awutan tak karuan. Lantas kembali berjalan menuju area parkiran. Ke tempat mobilku berada.

Tak butuh waktu lama, aku–seorang pria yang tengah dilanda derita dalam kecamuk batinku, segera memasuki mobil untuk pulang ke rumah. Aku tak peduli jika kondisiku sekarang ini tengah mabuk berat yang kemungkinan besar bisa memicu terjadinya kecelakaan.

Bagiku, hidup dan mati tidak ada bedanya. Semuanya sama saja bagi orang yang tengah terpuruk lahir-batin sepertiku ini.

jam menunjukkan pukul dua belas tengah malam, suara guntur dari kejauhan terdengar memekakkan, tanda Akan turunnya hujan lebat.

Mobil hitamku melaju dengan kencang menembus rintikan hujan yang mulai turun dengan deras.

***

Kisah ini kutulis sendiri. didedikasikan untuk diriku ini yang sekarang tengah berjalan di tempat antah berantah.

Sebelumnya perkenalkan namaku Reynald Heryanto. Aku seorang pria berusia tiga puluh tahun yang bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta timur.

Aku bekerja di perusahaan itu kurang lebih sudah sepuluh atau lima belas tahun lamanya. Telah cukup lama aku bekerja dan telah banyak pengalaman pahit–manis yang kurasakan selama aku bekerja disana.

Bisa dibilang aku menempati posisi yang cukup tinggi sebagai salah satu direktur perusahaan. Membuatku menjadi salah seorang yang cukup disegani di kantor. tentu dengan gaji yang cukup besar serta tanggung jawab yang juga sama besarnya.

Namun semua itu berubah dalam sekejap mata.

Kekayaan serta harta yang dulu aku tumpuk dengan susah payah kini raib hilang entah kemana. harta yang jumlahnya miliaran itu terpaksa harus hilang karena penipuan berkedok investasi bodong. Juga diriku yang tiba-tiba diberhentikan dari posisi di perusahaan tempatku bekerja karena dituduh sudah menggelapkan uang perusahaan.

Omong kosong! pasti itu adalah fitnah yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak menyukaiku sejak dulu.

Tak butuh waktu lama, kehidupanku seketika jungkir–balik seratus delapan puluh derajat ke titik yang rendah. gaya hidupku yang cenderung hedonis kini buyar seketika. Membuatku harus jatuh ke dalam jurang depresi tak berkepanjangan. ditambah dengan istriku tercinta yang bernama kania, ia memilih pergi meninggalkanku bersama laki–laki selingkuhannya.

Semua hantaman demi hantaman badai bencana yang terus–menerus menimpa hidupku, semakin membuat batinku tertekan. Penderitaan yang kurasakan bahkan hampir membuat nyawaku melayang di seutas tali panjang.

Jiwaku sakit. Sesakit–sakitnya hati seorang suami yang dikhianati oleh seorang istri.  minuman keras serta obat penenang seolah menjadi konsumsiku setiap hari.

Aku yang biasanya jarang pergi ke tempat–tempat hiburan malam, karena dirasa hal itu hanya membuang waktu saja, kini mulai ikut andil menyemarakkan tempat penuh bau alkohol itu. Tak peduli jika aku dicap sebagai pengecut yang lari dari kegagalan, yang aku butuhkan sekarang hanyalah sebuah ketenangan. Sebuah ketenangan hakiki yang dapat meredam rasa kecewa, amarah, serta takut yang ada dalam diriku.

Setelah tadi cukup lama berada di club malam cabang kota, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. menghabiskan sebagian malam untuk kembali bermabuk–mabukan ria. suara rintik hujan yang pilu menemani malam–malamku.

Kupacu mobilku yang melaju kencang bak kesetanan di atas jalanan beraspal ini. Dengan ditemani suara musik klasik, aku menatap jalanan malam dengan pandangan yang masih buram.

“ alkohol sialan! Menyesal tadi aku minum terlalu banyak, “ ujarku kembali mengumpat. Entah umpatan untuk ke berapa kalinya. Hatiku masih terasa sesak entah kenapa. seakan ada sebuah beban yang membelenggu disana.

Tanganku menyentuh dada yang dirasa sedikit nyeri. Meremasnya dengan pelan saat merasa debaran jantungku yang berdetak kencang.

“ sepertinya untuk besok aku harus mengurangi porsi minumku, “ gumamku pelan.

Mobil masih melaju di atas jalanan, namun kali ini dengan kecepatan sedang. Jarak ke rumahku tinggal beberapa kilometer lagi. Melintasi jalan hutan kemudian tinggal masuk ke arah jalan perumahan.

Mataku agak sayu karena efek kantuk disertai rasa anggur merah yang masih terasa menyengat di sela–sela bibir.

Saat mataku tengah menatap nanar jalanan yang dikepung oleh lebatnya pohon hutan, samar–samar aku melihat sesuatu yang bergerak melintasi jalanan gelap.

Sekelebat bayangan putih yang membuatku langsung terbelalak kaget. sigap aku menginjak rem dengan keras.

CITTTTT!!!

“bangsat! “

Suara gesekan antara ban mobilku dengan aspal jalanan terdengar memecah keheningan malam. mobilku berhenti di tengah jalan. Suara hewan–hewan hutan terdengar ramai dari berbagai arah, seakan tertawa melihat kekonyolanku ini.

“ sialan! siapa tadi yang berdiri di tengah jalan? “ gumamku sembari menghela napas.

Aku keluar dari mobil dengan kesal. hempasan angin datang menerpa wajahku. Menyambutku yang tengah memandang bingung ke arah depan jalan yang gelap.

Di jalanan di kejauhan sana, hanya terdapat beberapa daun yang berserakan terhembus angin.

Kosong!

lalu siapa yang tadi kutabrak? Jelas–jelas itu seorang wanita gila bergaun putih? Tapi kemana dia. Batinku bergumam.

Aku sibuk menelisik semak–belukar. Mataku liar menyapu sekitar. Melihat pohon–pohon tinggi yang berjajar mengurungku sendiri.

“ cih apa–apaan ini. Bodoh aku malah membuang waktu disini, “ cercaku pada diri sendiri. Aku memutuskan untuk kembali karena dirasa hal itu hanyalah bagian dari halusinasiku.

Aku berbalik badan mendekati mobil, kembali melanjutkan perjalanan. Saat kakiku tengah menyepak pelan beberapa kerikil, disana aku mendengar sebuah bisikan.

MATI REYNALD...MATI REYNALD...

Samar dan pelan, telingaku menangkap sebuah suara. sebuah desisan yang terdengar sayup–sayup di telingaku. Suara wanita!

aku terdiam berhenti melangkah. Mataku jelalatan melihat ke arah kegelapan hutan. Namun hanya sepi yang kutemukan.

Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak. Perasaan lain yang memunculkan rasa ngeri. Sebuah perasaan takut yang entah darimana datangnya.

“ sepertinya efek alkohol membuat halusinasiku tambah parah. Sebaiknya aku lekas pulang, “ cicitku pelan. Perasaanku benar–benar tidak nyaman. Hawa di hutan ini seolah menebar aura ganjil yang membuat bulu kudukku berdiri tegak.

Aku bergegas pergi. Saat kakiku telah dekat dengan pintu mobil yang masih terbuka, samar–samar aku melihat sesuatu yang tengah bergelayutan di pohon yang tak jauh dari mobilku berada.

Saat kuamati lebih jauh, jantungku nyaris melompat dari tempatnya. Mataku yang telah layu mendadak melotot menahan ngeri.

dikejauhan sana aku melihat seorang wanita yang tengah duduk di salah satu batang pohon besar. wanita misterius itu duduk membelakangiku, sembari kedua kakinya berayun–ayun mengikuti irama sebuah senandung lirih yang terdengar pelan. Namun mencekam.

“ s–siapa kau, “ ucapku terbata.

Seolah terganggu dengan pertanyaan yang kulontarkan tadi, wanita aneh itu mendadak menghentikan senandungnya. Aku menegak ludah dengan susah payah saat semerbak anyir darah tercium olehku.

REYNALD KAMU HARUS MATI

Dengan gerakan cepat, leher dari sosok itu berputar seratus delapan puluh derajat layaknya burung hantu. Aku tercekat tanpa bisa bersuara. Bola mataku terpaku menatap wajah hancur penuh darah dari sosok yang menyeringai kepadaku itu.

Dari balik gelap, sosok bergaun putih itu secepat kilat melayang mendekatiku. Aku masih diam tak mampu bergerak. Kakiku seakan dipasangi oleh ribuan rantai besi yang mencegahku untuk lari.

Sekian detik berlalu, bau tanah lembab tercium bersamaan dengan semilir aroma amis darah. Guntur menyambar kelamnya langit malam, mengiringi percikan dendam yang hendak dituntaskan.

Wanita berwajah hancur itu kini berdiri persis dihadapkanku. Bola matanya yang berpupil putih melotot dengan tajam. Dari balik sela–sela mata sosok itu, seekor kelabang besar keluar merayap.

REYNALD...KAU MASIH INGAT AKU? “

“ a–apa maksudmu? “

Mataku masih terpaku menatap wajah hancur yang telah berwujud separuh tengkorak. Aku bergidik ngeri, namun anehnya mataku rasanya tak bisa ditutup. aku bagaikan penonton yang dipaksa melihat sosok menyeramkan ini. Melihat bagaimana bibir hitam sosok itu menyeringai kejam ke arahku.

Namun dibalik rasa takutku, samar–samar sebuah ingatan melintas pelan dari benak pikiranku.

AKU ELLENA REYNALD...WANITA YANG KAU BUNUH PADA MALAM KEPARAT ITU, “ pekik sosok itu dengan murka. Wajahnya kian  menyeramkan. Kini pipinya yang hampir robek karena digerogoti oleh belatung busuk yang menggeliat pelan. Bau bangkai semakin menyengat menusuk hidung.

Mendengar sosok itu menyebutkan sebuah nama, aku sontak terdiam. Walaupun pikiranku masih dilanda ketakutan yang hebat, namun samar–samar sebuah wajah seseorang melintas dalam ingatanku.

Wajah seorang perempuan cantik berkulit coklat. Parasnya yang manis apalagi ditambah dengan sebatang hidung mancung menghiasi wajahnya. Perempuan yang bernama lengkap Ellena Marisa ayu. Seorang pelacur favoritku, Juga Bagian dari mimpi buruk yang selama ini menyeretku Dalam gelap yang pekat. Teror dimana kenyataan dan halusinasi sulit dibedakan lagi.

Ellena adalah korban dari kebiadabanku dulu. Jauh–jauh hari sebelum kejatuhan bisnisku, Saat itu kami berdua tengah asyik bercumbu ria di salah satu kamar hotel.

Namun entah bagaimana awal dari semua ini, ketika kami sedang bermesra-mesraan, ellena malah melontarkan satu kalimat yang membuat diriku ini sangat amat tersinggung dan berujung pada percekcokan kami berdua, aku yang tengah dilanda mabuk berat dan dilanda emosi tanpa pikir panjang langsung melayangkan tinjuan keras ke arah kepala ellena. berkali-kali hingga membuat Ellena harus kehilangan nyawa dengan kepala mengucurkan darah.

Aku yang pada saat itu telah gelap mata karena panik, tanpa pikir panjang langsung memutilasi mayat Ellena dengan sadis. Memisahkan bagian kepala, tangan, kaki, kemudian memasukkannya ke dalam Karung besar. Lalu membuangnya ke sungai yang tak jauh dari hutan ini.

Ya persis di tempat ini. Bak sebuah de javu yang kembali terulang dengan sangat jelas.

Tak disangka, ternyata kematian Ellena membawa rasa trauma yang mendalam bagiku. Meskipun aku tak sengaja melakukannya, namun tetap saja mimpi buruk itu selalu datang mengganggu. Mimpi ketika Ellena dengan wajah hancur terus–menerus mendatangiku. Ia meminta pertanggung–jawaban.

Dan kini mimpi itu menjadi kenyataan!

“ a–aku mohon maaf el, aku benar–benar tidak sengaja melakukan itu padamu, “ dengan nada menyesal aku berkata demikian kepada sosok yang telah aku anggap sebagai kekasihku sendiri. Melebihi rasa sayangku pada istriku–kania.

Aku melihat sosok itu tertawa terbahak–bahak, seakan menertawakan ucapanku barusan. Sebuah penyesalan yang terlambat. namun tak ada harganya lagi sekarang.

Dari mulut yang hampir robek seluruhnya, arwah Ellena berkata dengan nada sinis, “ KHEK! SUDAH TERLAMBAT REYNALD. SEKARANG KAU HARUS MENEMANIKU DI NERAKA SANA, teriaknya dengan parau, sebelum tangannya yang berjari runcing melesat menyasar leherku.

Aku yang tak sempat mengelak, tiba–tiba merasakan perih yang teramat sangat di bagian tenggorokanku. Cairan hangat kental terasa mengalir melewati tiap inci pori–pori kulitku. Aku berteriak menahan rasa sakit yang teramat sangat saat kuku panjang milik makhluk ini menghunjam dengan keras merobek leherku.

Ohok...ohok...

NIKMATILAH RASA SAKIT INI REYNALD...RASAKAN SEMUA SIKSAAN YANG SAMA KAU LAKUKAN PADAKU DULU HAHAHA...”

“H–hentikan t–tolong hentikan...,” racauku dengan rasa sakit yang terus mendera. sakit yang rasanya hendak mengantarkan nyawaku menuju jurang kematian. Perlahan pandanganku mulai buram, napasku tersengal–segal menggapai udara. Darah mengucur dengan derasnya membasahi lantai hutan.

Perlahan namun pasti, mataku semakin memburam. Denyut jantungku berdetak semakin lemah. disusul oleh kegelapan yang menghampiri.

Cicit suara hewan penghuni alas ini terdengar saling bersahutan dari rimbunnya pohon hutan. Seolah tengah menyambut purnama pucat yang tersibak dari balik awan hitam.

Entah apa yang terjadi selanjutnya. Aku tak tau dan ingat. yang aku ingat hanyalah sebuah cahaya yang tiba–tiba datang menyergapku. Membawaku menuju tempat asing yang entah dimana itu.

Aku berjalan di atas kegelapan tak berujung. Seakan ini adalah gambaran dari semua dosa yang sudah kutanam selama ini. Gelap, dingin, dan menyeramkan. Aku kembali bergidik. Rasanya semua rasa takut tengah berkumpul disini.

Aku merasa takut. Takut yang tak bisa kujelaskan dengan kata–kata. Sebuah rasa takut yang langsung mengantarkanku ke dalam pusaran maut.

Jiwaku pergi dengan mengenaskan. Pergi menuju alam penyiksaan.

Sementara di tempat lain, arwah Ellena yang telah kembali ke wujudnya semula–seorang wanita dewasa berparas cantik. Surai–surai rambut hitamnya berkibar diterpa angin, begitu pun dengan gaun putihnya yang kini bersih tanpa noda darah.

Ia perlahan mendesis.

AKHIRNYA REYNALD...DENDAM YANG SELAMA INI MENGHALANGIKU UNTUK MENUJU ALAM SELANJUTNYA, KINI SUDAH DIBAYAR TUNTAS, “ gumam arwah Ellena saat matanya yang merah memandang sayu ke arah jasad seorang pria yang berlumuran darah.

Seorang pria yang bernama Reynald Heryanto, seorang jutawan yang bangkrut lalu banting setir menjadi pemabuk. Ia tewas dengan leher yang hampir putus. Matanya melotot, seolah menyiratkan kengerian dan kesakitan yang dalam.

Perlahan, meninggalkan semua keheningan ini, desiran angin yang pelan membawa Ellena pergi mengawang menuju langit. Kini jiwanya telah tenang di alam sana. Satu dendam telah ia lepaskan.

TUNGGULAH AKU WAHAI KEKASIHKU...TUNGGULAH AKU DI NERAKA SANA, “



TAMAT

Komentar

Postingan Populer